cLNxsGUWkArrLhwVBfe6eO4P8vRLtY53cHInnzfr
Bookmark

Belajar Menulis Cerpen, Apa Saya Bisa dan Bagaimana Hasilnya?

Belajar Menulis Cerpen, Apa Saya Bisa dan Bagaimana Hasilnya?
Cerpen Karo - Saya sedang belajar menulis cerpen. Ini salah satu hasilnya. Silakan beri komentar sesukanya di kolom komentar ya tems.

Cerpen Berjudul Karo

Pagi ini, seperti biasa aku selalu menyeduh kopi tradisional Minangkabau dengan air panas yang dimasak mendidih beberapa menit.

Aroma kopi yang diguyur air mendidih menari-nari menusuk hidung. Aroma yang khas membuat hatiku semakin jatuh cinta.

Ah kopi, jika kuhitung mungkin sudah belasan tahun kita memadu kasih tanpa ada kejelasan. Aku hanya tahu, aku adalah penikmatmu sepanjang waktu entah denganmu.

Kebetulan rumahku tepatnya rumah orang tuaku. Lokasinya tidak jauh dan berbatasan langsung dengan hutan. Jika dipetakan lokasinya persis berada di belakang rumahku.

Ada pohon besar dengan diameter yang cukup nyaman dipeluk orang dewasa sepertiku. Jika diperkirakan usianya jauh lebih tua dariku karena saat kumasih bocah ukuran pohon itu sama dengan yang kutatap pagi ini.

Di belakang rumah pepohonan masih rimbun dengan keragaman hayati yang cukup lengkap. Begitu juga dengan keragaman hewannya.

Setidaknya cukup lengkap untuk hutan pinggiran yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk.

Seperti biasa, ditemani kopi panas, aku duduk menghadap hutan belakang rumah. Normalnya, aku sangat rindu suara hewan uwia-uwia saat memanggil panas sebelum siang menjelang.

Burung daun yang sesekali menari-nari dengan sayapnya yang kecil. Tentu saja sepasang tupai berkejaran dengan suara khas mereka di musim kawin.

Jika beruntung, akan ada karo yang entah sedang bahagia atau bersedih menghoyak ranting tempat ia bertengger.

Sesekali sang karo yang menurutku kesepian mengeluarkan suara pretak dari kerongkongannya.

Jika aku boleh menebak sang karo mungkin sedang meluapkan isi hatinya melalui nyanyian dan hoyakan ranting tak beraturan.

Entahlah, apa itu sedang bersedih, pilu, atau rasa sepinya memuncak. Sama seperti aku yang sedang menikmati seduhan kopi yang mulai mendingin ini.

Melihat tingkah karo dan sejoli tupai. Aku jadi ingin mengambil gawai bututku kemudian merekamnya.

Biasanya, aku tidak pernah menyentuh gawai sedikit pun sejak membuka mata di subuh hari hingga lepas salat Zuhur.

Kali ini, seakan ada energi yang membawaku ke kamar. Ke kamar di mana aku menikmati kehidupan sebagai nulep pipel seperti yang orang-orang bilang.

Sesampai di kamar, kulihat layar gawai berkelip-kelip pertanda bahwa ada pesan masuk. Sesuatu yang tidak biasa. Aku menerima pesan masuk sepagi ini.

Kuusap dan kubuka aplikasi perpesanan milik negara Paman Sam bernama whatsapp. Kubaca satu pesan masuk yang ternyata cukup panjang.

“Hi Rean, kuharap engkau sudah terbangun seutuhnya saat membaca pesanku ini.” Begitu tulis seseorang di ujung sana. Kulanjutkan membaca pesan pertamaku di hari ini.

“Sebelumnya aku meminta maaf, jika pesan ini merusak pagimu dengan kopi kesayanganmu. Namun, pesan ini harus kutuliskan. Pesan yang beberapa hari ini terpendam dan selalu tertunda untuk aku kirimkan padamu. Ya, tertunda beberapa hari karena hati dan jemariku masih menolak mengirimnya padamu. Ada ketakutan dan hatiku selalu mengirim sinyal ke otakku agar aku mempertimbangkan kembali keputusan ini. Iya, benar. Ini terjadi beberapa kali sejak kejadian itu. Otakku beberapa kali mencoba menelaah dan mencari sisi baiknya. Darimu, dari diriku, dan dari kejadian itu. Tapi, sekuat hati yang kupunya. Aku punya jiwa yang lelah yang belum mampu menerimamu seperti itu. Sebagai perempuan calon ibu dari anak-anak kita nanti. Apa aku mampu menjalani hidup denganmu dengan cara seperti itu? Kopi, malam, dan tulisan? Apa yang akan aku dapatkan dari tiga kehidupanmu yang monoton itu? Dan maaf, aku tak mampu. -Guin.”

Aku tak tersentak ataupun tergoncang. Hanya saja, tiba-tiba ada bulir menggenang di mataku.

Apa aku menangis? “Itu tidak mungkin!!” teriakku di dalam hati.

Terakhir aku menangis saat ayahku mangkat delapan tahun lalu. Lantas, kenapa sekarang aku menangis?

Aku telah menjadi tulang punggung semenjak itu. Kopi, malam, dan tulisan seperti yang Guin tulis di dalam pesan putus yang baru saja kubaca.

Setidaknya dengan tiga hal itu, aku bisa mencukupi kebutuhan ibu dan dua adikku. Hingga akhirnya ibulah yang menyuruhku meminang Guin agar aku berhenti memberikan seluruh hasil kerja kerasku untuk ibu dan dua orang adikku itu.

Ibu berharap dengan adanya Guin di sisiku membuat aku berhenti menjadi tulang punggung untuk beliau dan adikku yang telah beranjak dewasa.

Jelang umurku 2 tahun lagi kepala tiga. Aku memutuskan untuk menuruti kata ibu dan meminang Guin.

Pinanganku dengan segala persiapan dua minggu lagi, diakhiri dengan pesan putus dari Guin. Hanya karena alasan kopi, malam, dan tulisan.

Ah, suara karo yang kesakitan membuyarkan lamunanku. Ada suara benda jatuh tepat di belakang rumah. Tak jauh dari kopi yang kutinggalkan dingin di meja dekat kursi kayu.

Kulihat karo yang tadi menghoyak ranting, tergeletak dengan kepala bocor mengeluarkan darah. Genangan merah pekat kehitaman dan bau amis darah membuatku pusing, perlahan terjerembab.

Pipiku menghantam tanah di samping kopi yang tertumpah. Mungkin Guin benar, apa yang diharapkan dari aku yang hanya mencium bau dan melihat darah langsung hilang.

Kopi, malam, dan tulisan terbawa dalam ingatanku meski tubuhku ambruk. Kulihat karo yang masih menggelinjang tergeletak meregang nyawa tepat di depanku.

Aku hilang diiringi suara kesakitan karo yang gerakannya makin lama kian melemah.

Cerpen ini berjudul Karo. Sebagai catatan Karo dalam bahasa Minangkabau artinya adalah monyet berekor panjang (kera). Mohon bijak memahami dan mengartikan.

---

Jangan lupa untuk follow dan subscribes uncchu.com di google news dan youtube.

Posting Komentar

Posting Komentar