Cerita Pendek - Ini adalah cerpen pertamaku di bulan Maret 2023 dan cerpen kedua di blog ini. Silakan dibaca dan bantu beri masukan, saran dan kritik di kolom komentar.
Oh ya cerpen kali ini sedikit bertema dark, jadi dibutuhkan kebijakan teman-teman saat dan setelah membacanya. Terima kasih telah membaca.
Sudahi Traumamu
“Sudahi traumamu Gan” kata seorang teman kepadaku dalam suatu waktu obrolan panjang di aplikasi perpesanan. Entah mengapa obrolan yang awalnya biasa saja berakhir seperti ini.Ini kali keduanya ia benar-benar membuatku kecewa. Dulu saat pertama kali ia mengirimkan pesan yang sama. Aku langsung naik pitam dan memblokir semua media sosialnya termasuk whatsapp.
Mungkin lebih dari sebulan aku tak menghubunginya. Hingga akhirnya aku terpaksa mengiriminya pesan karena seorang mantan muridnya waktu kelas 7 menanyakan keberadaannya.
Tapi pada kali kedua ini aku berusaha untuk mengontrol emosiku. Meski tubuh dan jemariku bergetar hebat menahan emosi agar tak meledak seperti kala itu.
Dengan jemari berguncang kucoba mengetik balasan sebaik mungkin. Aku menulis, menghapus, dan menuliskan kembali berharap ia mengerti dengan apa yang aku maksudkan.
“Aku sudah move on, Aku sudah ga trauma ko” tulisku sambil menahan sesak di dada.
“Akan tetapi ada poin penting yang harus kamu perhatikan ketika menuliskan hal tersebut ke survivor trauma dan anxiety sepertiku” lanjutku gemetaran.
“Silakan kamu cari sendiri di gugel kenapa harus ada pertimbangan super matang sebelum coba-coba mengirimi orang sepertiku kalimat fake begituan” tutupku.
Kulihat pesan yang kukirim centang dua berwarna hijau dan aku bersyukur tidak dibalas. Sebab, jika dibalas aku akan benar-benar memblokir habis semua hal tentangnya.
Kecewa? Tentu dan jelas-jelas sangat kecewa. Orang yang selama ini kukenal selalu menjaga omongannya saat mau berbicara. Tapi kali ini dengan sangat entengnya merangkai kata seperti itu dan mengirimnya kepadaku tanpa rasa bersalah.
Aku tidak membela diri, jika sejatinya apa yang ia katakan benar bahwa aku memang lemah dalam menghadapi segala hal. Termasuk omongan dan pandangan miring orang-orang kepadaku.
Akan tetapi ada hal yang harus ia ketahui tentangku. 24 jam sehari dan 7 hari dalam sepekan aku melakukan segala upaya agar mentalku tetap sehat. Apa ia mengetahui semua usaha-usaha yang telah kulakukan? Tidak! Akupun tidak meminta apalagi memaksa ia untuk mengetahuinya.
—
Aku merebahkan diri di kasur tipis sambil menghadap langit-langit yang mulai menguning kecoklatan karena rembesan air hujan. Biasanya akan ada sepasang cicak berkejaran di lingkar lampu yang menempel di loteng. Sesekali sejoli cicak itu akan tertawa dan melirik kearahku.
Pikiranku melayang jauh, berputar-putar dari ujung ke ujung. Berhenti kemudian kembali berputar. Kucoba memejamkan mata, beberapa bulir bening langsung mengalir jatuh ke pelipis.
Dalam lamunanku, aku tidak pernah menyalahkan mereka tentang apa yang telah terjadi padaku. Hanya saja, apa tak ada sedikit celah di hati mereka untuk membiarkanku bahagia dibalik kesedihan ini.
Aku tidak meminta mereka mengerti dengan apa yang telah kulalui. Aku tak meminta mereka memahami trauma yang kurasakan. Aku hanya meminta sedikit waktu saja, agar mereka berhenti mengatakan kalimat-kalimat penyemangat semu yang menusuk jantung.
Apa mereka menyadari bahwa kalimat yang mereka tuturkan ibarat cahaya matahari di tengah hari saat kemarau bagi tunas yang baru tumbuh?
Cahaya matahari memang dibutuhkan tunas baru untuk tumbuh. Tapi cahaya matahari yang seperti apa?
Daripada menjadi cahaya yang menyilaukan, tak bisakah ia sebentar saja menjadi seperti setetes air di musim kemarau?
Mataku terpejam dan kemudian terbenam dalam mimpi yang membuatku gelisah. Aku tertidur dalam taburan kecewa, luka dan airmata.
—
Pagi ini cerah, kuharap begitu juga dengan hatiku. Kuraih ponsel di sisi kiriku. Kulihat jam di layar menunjukkan jam dua belas kurang dua puluh menit. Sisa baterai ponselku hanya lima persen.
“Kenapa boros sekali, bukankah sebelum tidur baterai ponselku masih 83 persen” pikirku. Aku terbangun kesiangan hari ini dan tidak biasanya ini terjadi. Sepertinya alarm yang kuatur jam empat pagi setiap hari gagal membangunkanku.
Kudengar di luar suara sangatlah riuh. Samar-samar kudengar ada beberapa suara setengah berteriak “kasih jalan, kasih jalan”.
Beberapa suara sepertinya aku mengenalinya dengan amat sangat. Ada suara bapak dan ibu kos, ada suara Ani juga. Mahasiswa semester lima yang kos di kamar sebelah kosku.
Kuintip dari gorden jendela kaca. Ada seseorang ditandu menuju mobil ambulans dengan pintu yang sudah terbuka. Betapa terkejutnya aku, melihat wajahku sekilas pada sosok yang sedang ditandu ke dalam mobil ambulans. Ada beberapa suara tangis yang kemudian menyebut-nyebut namaku.
Dalam sekejap, aku berbalik, memutar dan melihat ke arah kamarku. Ada garis polisi berwarna kuning dan hitam diikatkan di pintu. Ada juga seutas tali menggantung di langit-langit tempat biasanya kulihat cicak menertawakanku. Tali jemuran di kamar mandi yang sangat kukenali.
“Arrrrgh” aku berteriak disertai tangis mengugu. Namun tak seorangpun dari kerumunan yang ada di luar sana melihat ke arahku.
Aku tersadar, ini adalah pagi kedua sejak malam temanku mengirim pesan menyakitkan itu. Dan pada akhirnya aku benar-benar menyudahinya.
Posting Komentar