Sudah pernah dengar dengan istilah quiet quitting ini belum? Pasti udah dong ya. Apalagi bagi Anda yang bekerja full baik itu di perusahaan besar atau kelas menengah lainnya.
Nah oleh karena itu, yuk kenali ebih jauh tentang fenomena baru di dunia kerja yang dikenal dengan sebutan quiet quitting ini.
Apa itu Quiet Quitting?
Quiet Quitting adalah istilah yang mengacu pada perilaku karyawan yang sengaja membatasi aktivitas kerja mereka sesuai dengan deskripsi pekerjaan, dan tidak memberikan lebih banyak waktu, usaha, atau antusiasme daripada yang benar-benar diperlukan.
Dengan kata lain, karyawan yang melakukan Quiet Quitting hanya melakukan apa yang diharuskan dan kemudian melanjutkan hidup mereka. Tujuannya adalah untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Quiet Quitting tidak berarti bahwa karyawan benar-benar berhenti dari pekerjaan. Mereka masih memenuhi tanggung jawab utama mereka, tetapi mereka kurang bersedia untuk terlibat dalam aktivitas yang disebut sebagai perilaku kewarganegaraan, seperti bekerja lembur, datang lebih awal, atau menghadiri rapat yang tidak wajib.
Fenomena Quiet Quitting ini populer di kalangan pekerja yang termasuk dalam generasi milenial dan generasi Z, yang cenderung mencari makna dan kepuasan dari pekerjaan mereka, serta menghargai fleksibilitas dan kesejahteraan.
Apa Penyebab Quiet Quitting?
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan karyawan melakukan Quiet Quitting, antara lain:
- Ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap pekerjaan, manajemen, atau budaya organisasi. Karyawan yang merasa tidak dihargai, tidak diakui, tidak mendapat dukungan, atau tidak mendapat kesempatan untuk berkembang dapat kehilangan motivasi dan komitmen untuk memberikan yang terbaik.
- Stres atau kelelahan akibat beban kerja yang berlebihan, tekanan yang tinggi, atau konflik yang tidak terselesaikan. Karyawan yang merasa terbebani, tertekan, atau terganggu dapat mengalami penurunan kinerja, kesehatan, dan kesejahteraan.
- Perubahan preferensi atau prioritas dalam kehidupan. Karyawan yang mengalami perubahan situasi pribadi, seperti menikah, memiliki anak, atau mengalami krisis, dapat menyesuaikan harapan dan tujuan mereka terhadap pekerjaan. Mereka mungkin lebih memilih pekerjaan yang sesuai dengan nilai, minat, atau gaya hidup mereka.
- Pengaruh media sosial atau tren global. Karyawan yang terpapar dengan informasi atau inspirasi dari media sosial atau tren global, seperti gerakan “lying flat” di Cina, dapat terinspirasi untuk melakukan Quiet Quitting. Mereka mungkin merasa bahwa pekerjaan tidak lagi menjadi prioritas utama atau sumber kebahagiaan dalam hidup.
Apa Solusi untuk Mengatasi Quiet Quitting?
Quiet Quitting dapat berdampak negatif bagi karyawan, organisasi, dan masyarakat. Karyawan yang melakukan Quiet Quitting dapat mengalami penurunan kualitas, produktivitas, dan kreativitas dalam pekerjaan, serta kehilangan peluang untuk berkembang dan berprestasi.
Organisasi yang memiliki banyak karyawan yang melakukan Quiet Quitting dapat mengalami penurunan kinerja, reputasi, dan daya saing, serta meningkatnya biaya turnover dan rekrutmen.
Masyarakat yang didominasi oleh karyawan yang melakukan Quiet Quitting dapat mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan kesejahteraan sosial.
Untuk mengatasi Quiet Quitting, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh karyawan, organisasi, dan masyarakat, antara lain:
Karyawan dapat melakukan introspeksi diri untuk mengetahui apa yang membuat mereka tidak puas atau stres dengan pekerjaan mereka, dan mencari cara untuk mengatasinya.
Mereka dapat berkomunikasi dengan atasan, rekan kerja, atau pihak terkait untuk menyampaikan masalah, harapan, atau saran mereka.
Mereka juga dapat mencari sumber motivasi atau inspirasi dari dalam atau luar diri mereka, seperti tujuan, nilai, minat, atau teladan.
Organisasi dapat melakukan survei atau wawancara untuk mengetahui tingkat keterlibatan atau kepuasan karyawan terhadap pekerjaan, manajemen, atau budaya organisasi.
Mereka dapat memberikan penghargaan, pengakuan, dukungan, atau kesempatan untuk karyawan yang berprestasi, berpotensi, atau berdedikasi.
Mereka juga dapat memberikan fleksibilitas, keseimbangan, atau kesejahteraan untuk karyawan yang membutuhkan, seperti jam kerja, lokasi kerja, atau fasilitas kesehatan.
Masyarakat dapat melakukan edukasi atau sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran atau pemahaman tentang pentingnya pekerjaan bagi individu, organisasi, dan masyarakat.
Mereka dapat memberikan dorongan, bantuan, atau kolaborasi untuk karyawan yang menghadapi tantangan, kesulitan, atau peluang dalam pekerjaan.
Mereka juga dapat memberikan contoh, apresiasi, atau kontribusi untuk karyawan yang memberikan dampak positif bagi masyarakat melalui pekerjaan.
Apa Pandangan Orang terhadap Quiet Quitting?
Quiet Quitting adalah fenomena baru yang menimbulkan berbagai pandangan dari orang-orang, baik yang mendukung maupun yang menentang. Berikut adalah beberapa pandangan orang terhadap Quiet Quitting:
Pandangan yang mendukung Quiet Quitting
Orang-orang yang mendukung Quiet Quitting berpandangan bahwa pekerjaan bukanlah segalanya dalam hidup, dan bahwa karyawan berhak untuk menentukan batasan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Mereka menganggap bahwa Quiet Quitting adalah cara untuk melindungi diri dari eksploitasi, stres, atau ketidakbahagiaan yang disebabkan oleh pekerjaan.
Mereka juga berpendapat bahwa Quiet Quitting adalah hak dan pilihan individu yang harus dihormati dan tidak diintervensi oleh pihak lain.
Pandangan yang menentang Quiet Quitting
Orang-orang yang menentang Quiet Quitting berpandangan bahwa pekerjaan adalah kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, dan bahwa karyawan harus memberikan kontribusi maksimal bagi organisasi dan masyarakat.
Mereka menganggap bahwa Quiet Quitting adalah perilaku yang tidak profesional, tidak etis, atau tidak loyal yang merugikan diri sendiri, organisasi, dan masyarakat.
Mereka juga berpendapat bahwa Quiet Quitting adalah tanda dari sikap malas, egois, atau apatis yang harus dikoreksi atau dihindari.
Kesimpulan
Quiet Quitting adalah fenomena baru di dunia kerja yang mengacu pada perilaku karyawan yang sengaja membatasi aktivitas kerja mereka sesuai dengan deskripsi pekerjaan, dan tidak memberikan lebih banyak waktu, usaha, atau antusiasme daripada yang benar-benar diperlukan.
Fenomena ini dipicu oleh berbagai faktor, seperti ketidakpuasan, stres, perubahan preferensi, atau pengaruh media sosial. Fenomena ini dapat berdampak negatif bagi karyawan, organisasi, dan masyarakat, jika tidak ditangani dengan baik.
Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan solusi yang melibatkan karyawan, organisasi, dan masyarakat, seperti melakukan introspeksi, berkomunikasi, mencari motivasi, memberikan penghargaan, fleksibilitas, edukasi, dorongan, dan contoh. Fenomena ini juga menimbulkan berbagai pandangan dari orang-orang, baik yang mendukung maupun yang menentang.
Posting Komentar